Mengkonsultasikan Hak Angket Yang Ilegal dan Melawan UU ke Kemendagri : DPRD Takalar Butuh Kembali Membaca UU dan PP Terkait

Oleh : Asrullah (Pengamat Hukum Madani Institute CIS)

Iklim politik di Takalar sepekan terakhir mengalami eskalatif. DPRD Takalar menggulirkan hak interpelasi dan hak angket terhadap Bupati Takalar Syamsari Kitta karena dinilai terdapat beberapa kebijakan yang belum terealisasi dengan baik serta loop hole kebijakan pemerintahan yang dinilai tidak transparan dan akuntabel, salah satunya adalah transparansi pengelolaan dana covid 19.

Namun, fungsi pengawasan yang diwujudkan dalam bentuk langkah hak Interpelasi yang kemudian dilanjutkan ke hak angket tersebut oleh DPRD tidak dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Sebagai suatu penyelidikan politik (politic inquary) terhadap kepala daerah hak angket haruslah memenuhi syarat syarat sebagaimana yang tercantum dalam UU MD3 maupun PP No. 12 Tahun 2018 Tentang Pedoman Tatib DPRD.

Syarat elementer dan fundamen yang ditabrak dan tidak dipenuhi oleh DPRD adalah syarat formil, syarat materil dan syarat mutlak (absolute requarement) pengajuan dan penetapan hak angket sebagaimana yang tercantum dalam UU MD3 dan PP No. 12 Tahun 2018 Tentang Pedoman Tatib DPRD.

Bahkan langkah yang dilakukan oleh DPRD tersebut tidak hanya tidak memenuhi syarat formil, materil, dan syarat mutlak namun juga melakukan perlawanan dan perbuatan melawan UU (Onwetmatig) terhadap UU MD3 dan PP No. 12 Tahun 2018.

Salah satu syarat formil yang tidak dipenuhi adalah syarat kuorum pada saat mengusulkan untuk disepakati sebagaimana yang termaktub pada pasal 74 ayat (2) PP No. 12 Tahun 2018 yang berbunyi 3/4 dari jumlah anggota DPRD dan disetujui minimal 2/3 dari jumlah anggota yang hadir. Tidak hanya sampai disana, Syarat materil yang dilanggar dan ditabrak oleh DPRD adalah syarat materil kebijakan dan/atau pelaksanaan peraturan perundang-undangan yang tidak dicantumkan sehingga mengandung absuritas dan kerancuan objek sehingga menyebabkan cacat metaril sebagaimana yang termaktub pada pasal 73 ayat (2) huruf a dan b PP No. 12 Tahun 2018.

Tak berhenti sampai disana DPRD juga sama sekali tidak memperhatikan syarat absolute dari mekanisme regulatif yang ada salah satunya adalah syarat ketidakbolehan adanya kekurangan yuridis (by pass the regulation) pada langkah yang diambil. Sebab adanya cacat yuridis pada suatu objek yang diambil menyebabkan ketetapan atau keputusan tersebut dapat batal demi hukum (null and void) dan Dianggap tidak pernah ada hak angket tersebut dalam desain hukum administrasi negara.

Sehingga saya berpendapat pada post scriptum ini bahwa DPRD Takalar telah membuat suatu keputusan hak angket yang batal demi hukum dan perbuatan melawan UU (Onwetmatig) yakni UU MD3 dan PP No. 12 Tahun 2018 Tentang Pedoman Tatib DPRD. Hal ini tentu sangat menciderai semangat demokrasi konstitusional (the spirit of constitutional democracy) dimana DPRD sebagai lembaga luhur dan terhormat representatif rakyat (popular representatif) yang seharusnya menjadi contoh masyarakat luas untuk menegakkan moralitas hukum, moralitas politik dan keadilan justru menciderai semangat tersebut.

Dengan peristiwa ini tentu kita berharap bahwa kedepan tidak akan terulang hal yang sama serta dengan kecacatan yuridis hak angket tersebut tentu kita akan melihat dan menyimak apakah ada good will dan political will dari DPRD untuk menganulir hak angket tersebut sebagai penghormatan DPRD kepada Konstitusi UUD NRI 1945 pasal 1 ayat (3) Indonesia adalah negara hukum. Sebagai Wakil Rakyat Anggota DPRD lah yang harus menjadi patron dan motor dalam memberikan contoh penghormatan terhadap konstitusi serta tunduk dan patuh terhadap regulasi yang ada.

Be the first to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.


*